Kamis, 06 Oktober 2016

10 Tips Homeschool Anak-Anak yang Berbeda Umur


Bulan lalu, saat mengantar anak les balet, ada seorang oma yang bertanya kepada saya dimana Duo Lynns sekolah. Si oma bertanya karena menurut oma anak-anak begitu manis, well behave, dan pintar (oma...oma kan tidak melihat kalau mereka sedang berulah :D). Saya mengatakan kepada si oma bahwa anak-anak belajar di rumah. Si oma dengan muka kaget dan bingung bertanya bagaimana caranya mengurus rumah dan juga mengajar anak. Lalu si oma juga bercerita bahwa jika anaknya (ibu dari cucunya oma) pulang kerja dan mendapati cucunya si oma belum selesai PR atau tidak mengerti pelajaran langsung emosi. Padahal si cucu sudah les sama orang lain, anak si oma masih tidak perlu mengajar lagi. Itu saja masih marah-marah saat pulang ke rumah (mungkin emosi karena sudah bayar les pelajaran mahal-mahal tetapi kok anaknya tidak mengerti juga, oma). Apalagi kalau mengajar anak sendiri, tidak terbayang repotnya dan senewennya, kata si oma. Hmm....kadang-kadang rasanya kepala ini juga mau meledak kok oma =)) Lalu saya menceritakan bagaimana saya mengurus semua hal sekaligus, apalagi saat kakak baru mulai dan adik masih umur 1 tahun yang pecicilan tingkat tinggi. 

Lalu beberapa minggu lalu, saat les juga, ada ibu-ibu yang bertanya Duo Lynns sekolah di mana. Saya jawab lagi kalau mereka homeschool. Lalu ibu-ibu ini berkata bahwa mereka salut pada orang tua yang berani memilih homeschool. Mereka sendiri ingin tetapi merasa tidak sanggup untuk mengajar anak-anaknya, padahal anak mereka hanya satu. Mereka tidak dapat membayangkan kalau anak mereka dua, beda umurnya dekat pula, dan harus mengajar kedua anak mereka. 

Memang sih mengajar dua orang yang jaraknya dekat, apalagi kalau saat mulai usia adiknya masih 1 tahun lebih yang lagi nelitis kalau kata orang Jawa, alias tidak bisa diam, merupakan suatu tantangan tersendiri. Apalagi masih ditambah lagi harus mengurus rumah dan anggota keluarga yang lain. Tetapi karena saya merasa ini adalah panggilan saya, dengan pertolonganNya, semua dapat berjalan (walau terkadang ada drama di tengah perjalanan).

Tetapi menyadari homeschooling adalah panggilan saja tidaklah cukup. Kita perlu manajemen yang baik, strategi, dan juga perencanaan yang sesuai dengan keadaan kita. Bagaimana caranya supaya orang tua, khususnya mamanya, tidak mabok dengan urusan mengajar anak dan urusan rumah, terutama jika anak yang diajar berbeda usia yang dekat? Berdasarkan pengalaman saya, dan juga hasil mengamati keluarga yang anaknya lumayan banyak, saya menyimpulkan beberapa hal berikut.

1. Buatlah rutin yang jelas setiap harinya.
Saat kakak mulai homeschool, saya membuat rutin yang jelas setiap harinya. Dengan adanya rutin ini, anak-anak terbiasa untuk mengetahui kegiatan apa yang akan ada selanjutnya. Dimulai dengan doa pagi bersama, urusan sarapan pagi (mamanya sibuk masak), lalu waktunya untuk belajar. Belajar pun dimulai dari morning devotion bersama, sehingga adik yang saat itu masih 1 tahun lebih dapat ikut terlibat. Pernah suatu hari, saat liburan, kakak sibuk meminta untuk belajar, karena sudah terbiasa dengan rutin yang ada. Berarti rutin yang ada cukup membantu.

2. Buatlah kesepakatan dengan anak dan jika ada perubahan, beritahukan terlebih dahulu.
Namanya juga anak-anak, pastilah unsur mood itu ada pada mereka. Kita saja yang sudah dewasa bisa tergantung mood juga. Untuk mencegah drama dalam proses belajar mengajar, saya lebih suka membuat kesepakatan atau aturan di awal. Dengan demikian, jika tiba-tiba ada drama untuk mengambil kekuasaan (anak-anak pada umumnya senang merasa mereka punya power atas orang lain), saya dapat berkata bahwa kita sudah ada kesepakatan dari awal yang harus ditaati.
Hal ini berlaku juga jika kami ada urusan atau kami merencanakan untuk pergi keesokan harinya sehingga anak-anak tidak belajar atau hanya mengerjakan aktivitas tertentu, saya lebih suka untuk menginformasikan di awal. 

3. Libatkan saudaranya yang masih kecil dalam proses pembelajaran.
Saat kami memulai homeschooling, usia adik saat itu adalah 15 bulan. Tentunya usia dimana anak sangat pecicilan. Karena kakak memulai homeschooling dengan cerita karakter, buku pengetahuan dasar, dan lagu-lagu yang membantu dia mengenal phonics dan number, maka saya mengajak adik untuk mendengarkan cerita bersama kakak dan mendengarkan kakak bernyanyi. Jika adik lagi rewel dan tidak mau diam, terkadang saya memberikan mainan yang dapat dimainkan adik tetapi tidak membuat kakak ingin ikut main. Prinsip saya adalah adik ikut mendengarkan cerita dan tidak memegang gadget apapun. Karena gadget untuk membuat diam anak kecil dapat menjadi senjata makan tuan di kemudian hari.

4. Buat aktivitas yang dapat dilakukan bersama
Hal yang paling sering saya lakukan adalah membuat aktivitas yang dapat dilakukan bersama-sama. Terkadang standard untuk kakak jadi diturunkan dan standard untuk adik jadi dinaikkan supaya dapat melakukan suatu aktivitas. Terkadang dengan aktivitas yang sama, kegiatan yang dilakukan atau bobotnya disesuaikan dengan umurnya. Misal kakak diminta menggunting gambarnya dan menempel, sedang adik tinggal menempel. Karena saat itu saya mengurus semua sendiri, maka sebisa mungkin saya mencari aktivitas yang visible, bukan hanya untuk anaknya tetapi juga untuk mamanya.
Kapan menyiapkannya? Saya terbiasa menyiapkannya di malam hari, setelah anak-anak tidur. Lebih tenang dan tidak banyak gangguan.

5. Get organized.
Perencanaan itu perlu. Kita tidak dapat mengatakan kegiatan belajar mengajar harus sealami mungkin dan mengalir sesuai keadaan. Buatlah jadwal apa saja yang ingin kita bagikan kepada anak-anak dan juga apa saja yang harus kita urus di rumah dan di tempat lainnya. Jadwal membantu kita saat kita sedang hectic dengan anak-anak dan ulahnya yang selangit. Kalau sedang hectic kan tiba-tiba kita bisa lupa, dengan adanya jadwal, kita tetap tahu apa yang harus dilakukan setelah ini.Biasanya saya juga membuat list things to do. Jadi setiap teringat hal apa yang harus dilakukan, saya akan langsung membuka notes di handphone dan mencatatnya. Lumayan membantu loh, apalagi kesibukan dengan anak dapat membuat kita lupa hal-hal kecil.

6. Sediakan waktu sedikitnya 10 menit dengan setiap anak untuk menjelaskan dan berilah 'pekerjaan' kepada anak yang lainnya.
Saat adik sudah masuk usia untuk belajar, homeschooling yang sesungguhnya mulai berjalan. Dengan dua anak yang berbeda umur belajar bersama, kita berarti mempunyai tanggung jawab tambahan untuk membuat mereka menangkap semua yang kita sampaikan. Biasanya, saya akan memulai pelajaran dengan devotion (lagi) dari flash card CCC mereka. Setelah itu, saya akan meminta kakak atau adik mengerjakan lembar soal (dari materi sebelumnya atau materi hari ini jika mudah) ataupun daily drill yang ada terlebih dahulu, sementara saya menjelaskan yang satunya lagi mengenai konsep yang harus ditangkap olehnya, inti suatu pelajaran, atau pertanyaan yang agak sulit selama kurang lebih 10 - 15 menit. Jika sudah menangkap konsepnya, maka gantian anak yang tadi mengerjakan lembar soal mendapatkan penjelasan tentang konsep yang harus ditangkap. 

7. Ajar anak supaya menghargai satu dengan yang lain.
Saya terbiasa mengajarkan anak-anak untuk menghargai saudaranya dengan cara yang sederhana. Yang sedang mengerjakan soal atau belajar harus belajar untuk tetap fokus, apapun yang terjadi. Sedang yang sudah selesai harus belajar menghargai orang yang sedang belajar dengan tidak membuat keributan. Dengan demikian mereka belajar untuk tidak mengganggu dan tidak terganggu dengan keadaan.
Nah, biasanya yang namanya kakak senang membantu adiknya. Jadi kalau saya bertanya kepada adik, kakak suka ingin memberi tahu jawabannya dengan alasan dia mau membantu adiknya. Saya berkata bahwa hal yang baik jika kita membantu yang lain. Tetapi saya mengingatkan kakak bahwa bantuan yang tidak pada waktunya dan tidak pada tempatnya bukannya menolong tetapi membuat adik menjadi tidak bisa. Biasanya sih saya ceritakan kisah kupu-kupu yang berada di dalam kepompong dan ada manusia yang tidak sabar atau kasihan melihat kupu-kupu tersebut dan berusaha membantu membuka kepompong tersebut. Akibatnya kupu-kupu tidak dapat terbang. Dengan kata lain, kita juga harus belajar bersabar menunggu saudara yang lain saat belajar :)

8. Untuk urusan rumah, bekerja samalah dengan anak-anak dan suami.
Urusan rumah merupakan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Apalagi kalau punya anak kecil. Bersyukurnya kami karena kami mengajarkan anak-anak untuk merapikan mainannya sendiri dari sejak mereka kecil. Diawali dengan membereskan mainan saat mereka belum dapat berjalan. Jika mereka ingin bermain yang lain, saya mengajak anak-anak untuk memasukkan mainan ke kotaknya terlebih dahulu baru mengambil mainan yang baru. Dengan demikian mereka tahu kalau mau ganti mainan, harus membereskan yang sebelumnya. Demikian juga dengan urusan seperti mencuci piring, menyapu dan sebagainya. Sedang untuk urusan yang besar, bekerja sama dengan suami cukup membantu. Saya sebetulnya tipe orang yang lebih suka tidak merepotkan orang lain. Sebisa mungkin mengerjakan urusan rumah sendiri. Bersyukurnya si papa termasuk tipe yang suka membantu urusan rumah.

9. Akhiri hari dengan doa dan me-review kegiatan hari ini.
Kami terbiasa berdoa bersama sebelum tidur di malam hari. Dan biasanya kami me-review kegiatan kami dalam doa kami, bersyukur kalau kami boleh jalan-jalan (walau cuma ke supermarket ataupun ke toko buku) dan bersyukur untuk semua yang kami lakukan bersama-sama (walau kadang anak-anak akan bilang sorry God because I did that before). Ternyata hasil dari me-review kegiatan saat berdoa itu membantu anak-anak untuk lebih bekerjasama di keesokan harinya. Apa manfaatnya untuk kita sebagai mama yang seharian berkutat dengan rumah dan anak? Review di dalam doa mengingatkan kita walau saat menjalankan seluruh kegiatan hari ini terkadang kita lelah, tapi ternyata kelelahan hari ini selesai juga dan walau saya merasa tidak mampu, tetapi kasih karuniaNya cukup bagi saya. Setidaknya saya merasa begitu sih =))

10. Belajar untuk fleksibel.
Saya termasuk tipe orang yang perfeksionis terhadap diri sendiri dan mudah fleksibel terhadap orang lain. Akibatnya, di saat adik mulai homeschooling, terkadang saya pusing karena hal yang saya lakukan tidak sesuai dengan ekspektasi yang saya inginkan. Bersyukurnya saya pun ikut belajar bersama kakak mengenai kualitas karakter flexibility. Saya belajar untuk lebih fleksibel dengan diri sendiri. Salah satu contohnya adalah waktu belajar.
Kalau biasanya belajar dimulai setelah makan pagi, tetapi sejak adik ikutan belajar dan kakak kelas satu, maka sekarang waktu belajar kami dipecah. Setelah kakak dan adik morning devotion, maka kakak mengerjakan latihan soal. Sementara adik melakukan aktivitas lainnya. Setelah selesai, mereka ada break dan saya mengurus dapur. Setelah selesai dengan urusan dapur, maka kami kembali belajar atau melakukan aktivitas seperti membuat craft atau memasak.
Bagaimana jika sudah menjelaskan, tetapi rasanya kok anaknya tidak mengerti juga? Ingatlah bahwa setiap anak dewasa pada umur-umur yang berbeda-beda. Terkadang mereka belum mengerti bukan karena mereka malas sehingga tidak dapat, tetapi karena masalah kurang memperhatikan atau masalah kesiapan atau readiness issue. Dengan demikian, kita sebagai pengajar harus mencoba fleksibel dengan si anak. Entah mungkin metode kita yang harus dirubah atau menunggu hingga anak sudah siap dan cukup umurnya untuk betul-betul menangkap materi ataupun nasihat yang disampaikan.

Tentunya mengajar anak yang usianya bervariasi sambil mengurus rumah, dan anggota keluarga yang lain, cukup menyita waktu. Tetapi yakinlah setiap kerepotan yang ada membuat anggota keluarga menjadi lebih erat. Salah satu penghibur saya saat merasa lelah adalah menyanyikan lagu Roman 8:28 :)

And we know that in all things God works for the good of those who love Him, who have been called according to His purpose~Roman 8:28


Sumber foto: chdrc.ucd.ie

1 komentar:

  1. Boleh minta kontaknya kah biar bisa nanya-nanya lebih banyak?:)

    BalasHapus