Kamis, 26 Mei 2016

God-Centered or Child-Centered?

God-Centered or Child-Centered
Ada orang saat melihat anak nangis-nangis sampai glesotan di lantai berkata 'gak apa-apa. Namanya juga anak-anak.' Ada juga orang yang saat melihat anak-anak lari-larian atau teriak-teriak saat ada seminar, akan berkata tidak apa, kan namanya juga anak-anak. Atau berkata namanya juga anak-anak saat melihat anak kecil merengek sampai guling-gulingan kalau menginginkan sesuatu. Kata-kata namanya juga anak-anak, itu kan wajar, seakan menjadi alasan orang tua membiarkan anak berlaku semaunya dan menghalalkan segala ulah anak-anak. Namun, apakah benar itu hal yang wajar? 

Bagi saya dan suami, kata-kata namanya juga anak-anak berlaku saat anak kecil membuat tingkah yang lucu dan 'lucu', berulang-ulang menceritakan atau menanyakan sesuatu, atau menagih janji yang sudah dikatakan. Namanya anak-anak itu jika sudah dibilangi, dikoreksi, lalu lupa lagi dan kita sebagai orang tuanya harus sampai berbusa untuk mengingatkannnya. Berteriak dan berlari juga hal yang wajar jika tidak mengganggu orang lain dan pada tempatnya. Agak berbeda dengan kebanyakan orang sih. Mungkin karena gaya keluarga kami yang seperti itu. 

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel tentang God-Centered Education dan Child-Centered Education. Ternyata hal ini juga memengaruhi pemaknaan kata-kata namanya juga anak-anak. Apa sih perbedaan dari kedua hal tersebut? 

Pendidikan yang berpusatkan pada Tuhan mempunyai pola pandang setiap anak adalah murid TUHAN. Dengan demikian, Tuhan menjadi pusat dari segalanya sehingga pola dalam mendidik adalah mendidik dalam pemikiran akan Kristus. Kebenaran spiritual dan moral diajarkan juga melalui akademik. Dengan demikian, di tahap awal kehidupan si anak, pendidikan dini itu penting. Guru berperan sebagai imparter (pengimpartasi atau penyalur) pengetahuan, berdasarkan kebutuhan si anak. Tentu saja ini tidak berarti kalau guru itu maha tahu, karena statusnya adalah penyalur. Dengan pola pendidikan ini, memorisasi, verbalisasi, dan membaca menjadi fondasi yang penting. Tujuannya adalah orang yang dididik menjadi pribadi yang dewasa di dalam Tuhan. 
God-Centered. Sumber gambar: joshkellar.com
Sedang pendidikan yang berpusat pada anak mempunyai pola pandang bahwa anak-anak harus diajarkan untuk memercayai dirinya sendiri, bukan Tuhan. Dengan pola pandang demikian, maka manusia menjadi pusat dari segalanya dan pemisahan antara pengetahuan dan Tuhan. Pengetahuan, keahlian, pikiran, dan karakter anak dibangun tanpa harus melibatkan Tuhan. Pendidikan yang berpusat pada anak juga berpikir bahwa anak harus bebas bereksplorasi, jangan terlalu banyak batasan. Oleh sebab itu pendidikan dini tidak penting. Guru berperan sebagai fasilitator, sesuai maunya si anak. Dan prinsip yang ternyata masuk kepada pendidikan yang berpusat pada anak: let children be kids, biarkan anak menjadi anak-anak atau namanya juga anak-anak.
Child-Centered. Sumber gambar: joshkellar.com
Setelah membaca artikel tersebut, saya jadi berpikir dan berpikir. Apalagi melihat banyak kasus-kasus yang terjadi di dunia pendidikan. Berarti seringkali terjadi salah kaprah dalam dunia pendidikan yang ada. Karena pusatnya adalah si anak, maka outputnya bisa mengerikan. Bullying di sekolah, labeling di sekolah, dan karena guru adalah fasilitator maka sebagian guru seenaknya tidak mengajar anak murid hanya menyuruh anak mengerjakan tugas dan mencari informasi sendiri. Bagi saya, ada beberapa topik yang dapat dikerjakan dengan membuat makalah, tetapi ada topik yang memang harus dijelaskan. Kalau dulu beberapa guru kebablasan suka mukul murid, kalau sekarang bisa tidak ada wewenang untuk mendisiplin anak murid. Sehingga murid menjadi lebih semaunya. Ini juga tidak benar.

Lalu, seperti apakah sebaiknya pendidikan yang harusnya dijalani oleh anak-anak? Karena kami homeschool, maka kami harus membentuk pola pendidikan yang sesuai. Maka saya dan suami sampai pada suatu kesimpulan.

1. Kami ingin anak-anak berpusat pada Tuhan. Mengapa? Karena Tuhan adalah pencipta segalanya, yang berarti pencipta ilmu yang ada. Maka logikanya setiap ilmu pengetahuan harusnya berpusat pada Tuhan. Akal budi diciptakan oleh Tuhan.

2. Karena berpusat pada Tuhan, maka iman dan karakter mendahului pengetahuan dan Tuhan  tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Saat karakter dibangun tanpa melibatkan Tuhan, maka hasilnya hanyalah manner yang hanya nampak di depan orang. Saat keahlian dibangun tanpa melibatkan Tuhan, yang timbul adalah kesombongan dan merasa saya bisa. Saat pikiran dibangun tanpa melibatkan Tuhan, hasilnya salah kaprah dan kadang bisa jadi sesat.

3. Anak boleh bereksplorasi, tetapi harus ada batasannya. Mengapa? Karena pada dasarnya anak belum dapat membedakan secara jelas mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang aman dan mana yang tidak aman. Jika tidak ada batasan, maka mereka akan melakukan hal-hal yang suatu saat akan membuat orang tua sadar bahwa hal itu berbahaya, tetapi untuk mencegahnya sudah susah atau bahkan terlambat. Saya melihat banyak contoh yang waktu kecil membiarkan anak melakukan banyak hal yang seharusnya tidak boleh, hanya dengan alasan namanya juga anak-anak, biarkanlah mereka bereksplorasi dan mengenal alam. Akhirnya orang tua pun kewalahan karena tidak dapat menangani anaknya dan mulai memberi batasan (tapi sudah susah) atau jadinya melakukan pembenaran atas sikap anaknya (menganggap sekitarnya yang lebai dan tidak kompeten untuk anaknya).
Sebagai contoh anak dengan gadget dan internet. Ada orang tua yang memberi ijin anaknya main internet dengan alasan anak zaman sekarang masak tidak tahu apa-apa. Tapi tidak diberikan batasan, tidak didampingi. Saat anak membuka website aneh-aneh, nonton YouTube, kecanduan gadget, baru panik. Dan sampai titik ini sudah susah untuk mengubah kebiasaan tersebut. Atau anak diberi ijin main keluar rumah tanpa didampingi. Alasannya biar lebih mengenal alam, tidak kuper di dalam rumah terus. Begitu anaknya tertabrak sibuk menyalahkan orang yang menabrak. Padahal bisa jadi anaknya yang salah. Atau juga sebelum 17 tahun diberikan motor, dalam kompleks saja. Nah, kalau kecelakaan, penyesalan datang belakangan. 

4. Pendidikan dini itu penting tetapi sesuai kebutuhan si anak. Misal anak 2 tahun dikenalkan dengan huruf, bagian tubuh, angka, nama hewan, dan hal-hal pengetahuan dasar lainnya. Hal yang wajar bukan. Tetapi bukan berarti anak dua tahun diajari tambah kurang. Biarkan berkembang sesuai umurnya. Jika dipaksakan tetapi sisi jiwa dan spiritual anak tidak disentuh, akibatnya mungkin si anak bisa dalam hal akademis tetapi dalam hal yang sederhana seperti berbagi atau membuka baju atau berdoa si anak tidak mampu.
Tapi ini bukan berarti anak dimasukkan ke sekolah sedini mungkin. Banyak sekali orang tua yang memasukkan anak umur 6 bulan ke sekolah. Kalau menurut saya sih umur segitu waktunya bercengkrama dengan mama papanya.

5. Kami melakukan memorisasi, verbalisasi, dan membacakan anak cerita dari bayi, dalam bentuk lagu dan cerita, terutama mengenai kebenaran firman Tuhan. Karena tidak akan sia-sia mengenalkan itu semua, walau kesannya anak tidak mengerti. Lama-lama si anak akan mengerti. Kami tidak menuntut anak untuk dapat segera membaca. Kami juga tidak mau mengajarkan anak membaca, ba bi bu be bo, saat anak baru 3 tahun. Ada yang bilang sayang loh kalau anaknya pintar tidak diajari dari kecil. Kalau pintar, mau diajari kapanpun juga bisa kok. Sebetulnya kalau boleh jujur, anak diajari terlalu cepat, yang lebih bangga kan orang tuanya, walau kadang yang ngajari juga bukan orang tuanya. Benar atau benar? No offense ya.

6. Guru berperan sebagai imparter sesuai kebutuhan anak bukan kemauan anak. Semakin saya mengajar, saya semakin merasa menjadi imparter bukanlah mendominasi proses belajar mengajar. Terkadang hal ini tersamarkan karena guru jaman kita kecil suka ingin didewakan (nilai 10 untuk Tuhan, 9 untuk guru, 8 ke bawah untuk murid sehingga kalau kasi nilai ampun-ampunan). Jadinya sekarang selalu bilang guru adalah fasilitator. Fasilitator terkesan lepas tangan terhadap hasil dari pembelajaran (teman-teman saya yang adalah guru-guru sering berkata kan kita cuma fasilitator, output urusan murid-murid dong). Tetapi sebagai imparter kita bisa menyalurkan informasi yang benar sehingga anak bisa menarik kesimpulan dengan tepat. Tidak selalu mendominasi, dan ada waktunya murid dapat mengeksplorasi berdasarkan guidance atau petunjuk yang benar. Lalu anak tidak boleh memilih yang dia sukai dong? Tentu saja bisa, tetapi kita sebagai orang tua yang mengamati juga minat dan bakatnya. Sehingga bisa mengarahkan anak sesuai minat dan bakatnya juga. 

7. Let children be kids bukan berarti pembiaran terhadap segala tingkah laku anak. Anak-anak adalah anak-anak, yang masih belum dapat membedakan apakah sesuatu aman atau tidak aman, boleh atau tidak boleh. Di kamus mereka hanya ada kata bisa atau tidak bisa. Tugas kitalah sebagai orang tua yang harus memgarahkan mereka supaya mereka menjadi anak-anak yang mengerti hal yang tepat dan akhirnya membentuk mereka menjadi pribadi yang dewasa di dalam Tuhan, berkarakter dan berpengetahuan. 

Wah..... Semakin memikirkannya jadi semakin sadar parenting bukan hal yang mudah, tetapi suatu hak istimewa jika kita berkesempatan untuk menjadi orang tua.

Bacaan lain yang dapat menjadi referensi:







Tidak ada komentar:

Posting Komentar